Kamis, 02 Juni 2016

Penjabaran UU No.16 Tahun 2001 Tentang YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG
Y A Y A S A N
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan
dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Yayasan;
b. bahwa Yayasan di Indonesia telah berkembang pesat dengan berbagai kegiatan,
maksud, dan tujuan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai
dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
kepada masyarakat, perlu membentuk Undang-undang tentang Yayasan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
2. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan Yayasan.
3. Kejaksaan adalah Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Yayasan.
4. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akuntan publik.
5. Hari adalah hari kerja.
6. Menteri adalah Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 2
Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas .
Pasal 3
(1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan
tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan
usaha.
(2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus,
dan Pengawas.
Pasal 4
Yayasan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang
ditentukan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 5
Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan
berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak
langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai
kepentingan terhadap Yayasan.
Pasal 6
Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam
rangka menjalankan tugas Yayasan.
Pasal 7
(1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud
dan tujuan yayasan.
(2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat
prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh
lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
(3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai
Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari
badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 8
Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai
dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB II
PENDIRIAN

Pasal 9
(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta
kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
(2) Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta
notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat.
(4) Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Dalam hal Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan oleh orang asing
atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Dalam pembuatan akta pendirian Yayasan, pendiri dapat diwakili oleh orang lain
berdasarkan surat kuasa.
(2) Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat, penerima wasiat
bertindak mewakili pemberi wasiat.
(3) Dalam hal surat wasiat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilaksanakan,
maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli
waris atau penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat tersebut.
Pasal 11
(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.
(2) Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan
sebagai badan hukum dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri, yang wilayah kerjanya meliputi
tempat kedudukan Yayasan.
(3) Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta
pertimbangan dari instansi terkait.
Pasal 12
(1) Pengesahan akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diajukan
oleh pendiri atau kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri.
(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3)
pengesahan diberikan atau tidak diberikan dalam jangka waktu :
a. paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan
pertimbangan diterima dari instansi terkait; atau
b. setelah lewat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan
pertimbangan kepada instansi terkait tidak diterima.
Pasal 13
(1) Dalam hal permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
ditolak, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada
pemohon mengenai penolakan pengesahan tersebut.
(2) Alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah bahwa permohonan
yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau
peraturan pelaksanaannya.
Pasal 14
(1) Akta pendirian memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu.
(2) Anggaran Dasar Yayasan sekurang-kurangnya memuat :
a. nama dan tempat kedudukan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. jangka waktu pendirian;
d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang
atau benda;
e. cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas;
g. hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j. penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah
pembubaran.
(3) Keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang-kurangnya
nama, alamat, pekerjaan, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraan Pendiri,
Pembina, Pengurus, dan Pengawas.
(4) Jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi Pendiri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Yayasan tidak boleh memakai nama yang :
a. telah dipakai secara sah oleh Yayasan lain; atau
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
(2) Nama Yayasan harus didahului dengan kata "Yayasan".
(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, kata "wakaf" dapat ditambahkan
setelah kata "Yayasan".
(4) Ketentuan mengenai pemakaian nama Yayasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 16
(1) Yayasan dapat didirikan untuk jangka waktu tertentu atau tidak tertentu yang diatur
dalam Anggaran Dasar.
(2) Dalam hal Yayasan didirikan untuk jangka waktu tertentu, Pengurus dapat
mengajukan perpanjangan jangka waktu pendirian kepada Menteri paling lambat 1 (satu)
tahun sebelum berakhirnya jangka waktu pendirian Yayasan.

BAB III
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR

Pasal 17
Anggaran Dasar dapat diubah, kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan.
Pasal 18
(1) Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat
Pembina.
(2) Rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan,
apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Pembina.
(3) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 19
(1) Keputusan rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
ditetapkan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan rapat berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, keputusan ditetapkan berdasarkan persetujuan
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh jumlah anggota Pembina yang hadir.
Pasal 20
(1) Dalam hal korum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) tidak tercapai,
rapat Pembina yang kedua dapat diselenggarakan paling cepat 3 (tiga) hari terhitung
sejak tanggal rapat Pembina yang pertama diselenggarakan.
(2) Rapat Pembina yang kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sah, apabila
dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh anggota Pembina.
(3) Keputusan rapat Pembina yang kedua sah, apabila diambil berdasarkan persetujuan
suara terbanyak dari jumlah anggota Pembina yang hadir.
Pasal 21
(1) Perubahan Anggaran Dasar yang meliputi nama dan kegiatan Yayasan harus
mendapat persetujuan Menteri.
(2) Perubahan Anggaran Dasar mengenai hal lain cukup diberitahukan kepada Menteri.
Pasal 22
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 secara mutatis mutandis
berlaku juga bagi permohonan perubahan Anggaran Dasar, pemberian persetujuan, dan
penolakan atas perubahan Anggaran Dasar.
Pasal 23
Perubahan Anggaran Dasar tidak dapat dilakukan pada saat Yayasan dinyatakan dalam keadaan
pailit, kecuali atas persetujuan kurator.

BAB IV
PENGUMUMAN

Pasal 24
(1) Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan
Anggaran Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan permohonannya oleh
Pengurus Yayasan atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Republik
Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta
pendirian Yayasan yang disahkan atau perubahan Anggaran Dasar yang disetujui.
(3) Ketentuan mengenai besarnya biaya pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 belum dilakukan, Pengurus
Yayasan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas seluruh kerugian Yayasan.

BAB V
KEKAYAAN

Pasal 26
(1) Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk
uang atau barang.
(2) Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan Yayasan dapat
diperoleh dari :
a. sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
b. wakaf;
c. hibah;
d. hibah wasiat; dan
e. perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum
perwakafan.
(4) Kekayaan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan
untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.
Pasal 27
(1) Dalam hal-hal tertentu Negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
ORGAN YAYASAN
Bagian Pertama
Pembina

Pasal 28
(1) Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan
kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
(3) Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang
berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi
untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.
(4) Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling
lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota
Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat
Pembina dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) sah apabila
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai korum kehadiran dan korum keputusan
untuk perubahan Anggaran Dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini
dan/atau Anggaran Dasar.
Pasal 29
Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota
Pengawas.
Pasal 30
(1) Pembina mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Dalam rapat tahunan, Pembina melakukan evaluasi tentang kekayaan, hak dan
kewajiban Yayasan tahun yang lampau sebagai dasar pertimbangan bagi perkiraan
mengenai perkembangan Yayasan untuk tahun yang akan datang.

Bagian Kedua
Pengurus

Pasal 31
(1) Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.
(2) Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu
melakukan perbuatan hukum.
(3) Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.
Pasal 32
(1) Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina
untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
(2) Susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas :
a. seorang ketua;
b. seorang sekretaris; dan
c. seorang bendahara.
(3) Dalam hal Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selama menjalankan
tugas melakukan tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka
berdasarkan keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum
masa kepengurusannya berakhir.
(4) Ketentuan mengenai susunan dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan
penggantian Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 33
(1) Dalam hal terdapat penggantian Pengurus Yayasan, Pembina wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian Pengurus
Yayasan.
Pasal 34
Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian Pengurus dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan
Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan
pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.
Pasal 35
(1) Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk
kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun
di luar Pengadilan.
(2) Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab
untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengurus dapat
mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.
(5) Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan
dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang
mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.
Pasal 36
(1) Anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila :
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang
bersangkutan; atau
b. anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan
dengan kepentingan Yayasan.
(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang berhak
mewakili Yayasan ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 37
(1) Pengurus tidak berwenang :
a. mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;
b. mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan
c. membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
(2) Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan.
Pasal 38
(1) Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan
Yayasan, Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang
bekerja pada Yayasan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal perjanjian
tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.
Pasal 39
(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan
Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap
Anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
(2) Anggota Pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas
kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan Yayasan
yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan
putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi
Pengurus Yayasan manapun.

Bagian Ketiga
Pengawas

Pasal 40
(1) Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta
memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.
(2) Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang
wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
(3) Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu
melakukan perbuatan hukum.
(4) Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus.
Pasal 41
(1) Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan
keputusan rapat Pembina.
(2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan
tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan
umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian atau penggantian
tersebut.
Pasal 42
Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan Yayasan.
Pasal 43
(1) Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan
menyebutkan alasannya.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, wajib dilaporkan secara
tertulis kepada Pembina.
(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima, Pembina
wajib memanggil anggota Pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan
membela diri.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pembelaan
diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Pembina wajib :
a. mencabut keputusan pemberhentian sementara; atau
b. memberhentikan anggota Pengurus yang bersangkutan.
(5) Apabila Pembina tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan ayat (4), pemberhentian sementara tersebut batal demi hukum.
Pasal 44
(1) Pengawas Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina
untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
(2) Ketentuan mengenai susunan, tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan
penggantian Pengawas diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 45
(1) Dalam hal terdapat penggantian Pengawas Yayasan, Pembina wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian Pengawas Yayasan.
Pasal 46
Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan
Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan
pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas tersebut.
Pasal 47
(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengawas dalam melakukan
tugas pengawasan dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan
tersebut, setiap anggota Pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
(2) Anggota Pengawas Yayasan yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
tersebut.
(3) Setiap anggota Pengawas yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan
yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, dan/atau Negara berdasarkan putusan
Pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengawas Yayasan manapun.

BAB VII
LAPORAN TAHUNAN

Pasal 48
(1) Pengurus wajib membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan
mengenai hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha Yayasan.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pengurus wajib membuat dan
menyimpan dokumen keuangan Yayasan berupa bukti pembukuan dan data pendukung
administrasi keuangan.
Pasal 49
(1) Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) bulan terhitung sejak tanggal tahun buku Yayasan
ditutup, Pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis yang memuat sekurangkurangnya
:
a. laporan keadaan dan kegiatan Yayasan selama tahun buku yang lalu serta hasil yang
telah dicapai;
b. laporan keuangan yang terdiri atas laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan
aktivitas, laporan arus kas, dan catatan laporan keuangan.
(2) Dalam hal Yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi Yayasan, transaksi tersebut wajib dicantumkan dalam laporan tahunan.
Pasal 50
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditandatangani oleh Pengurus dan
Pengawas sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.
(2) Dalam hal terdapat anggota Pengurus atau Pengawas tidak menandatangani laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka yang bersangkutan harus menyebutkan alasannya
secara tertulis.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh rapat Pembina.
Pasal 51
Dalam hal dokumen laporan tahunan ternyata tidak benar dan menyesatkan, maka Pengurus dan
Pengawas secara tanggung renteng bertanggungjawab terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 52
(1) Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor
Yayasan.
(2) Ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan
dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang :
a. memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, atau pihak lain sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih; atau
b. mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah) atau lebih.
(3) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
(4) Hasil audit terhadap laporan tahunan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
disampaikan kepada Pembina Yayasan yang bersangkutan dan tembusannya kepada
Menteri dan instansi terkait.
(5) Bentuk ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun
sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.

BAB VIII
PEMERIKSAAN TERHADAP YAYASAN

Pasal 53
(1) Pemeriksaan terhadap Yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat
dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan :
a. melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b. lalai dalam melaksanakan tugasnya;
c. melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
d. melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c
hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis
pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dapat dilakukan
berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili
kepentingan umum.
Pasal 54
(1) Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
(2) Dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan,
Pengadilan mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak
3 (tiga) orang ahli sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
(3) Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau karyawan
Yayasan tidak dapat diangkat menjadi pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 55
(1) Pemeriksa berwenang memeriksa semua dokumen dan kekayaan Yayasan untuk
kepentingan pemeriksaan.
(2) Pembina, Pengurus, Pengawas, dan pelaksana kegiatan serta karyawan Yayasan,
wajib memberikan keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
(3) Pemeriksa dilarang mengumumkan atau memberitahukan hasil pemeriksaannya
kepada pihak lain.
Pasal 56
(1) Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan
kepada Ketua Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai dilakukan.
(2) Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang
bersangkutan.

BAB IX
PENGGABUNGAN

Pasal 57
(1) Perbuatan hukum penggabungan Yayasan dapat dilakukan dengan menggabungkan
1 (satu) atau lebih Yayasan dengan Yayasan lain, dan mengakibatkan Yayasan yang
menggabungkan diri menjadi bubar.
(2) Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
dengan memperhatikan :
a. ketidakmampuan Yayasan melaksanakan kegiatan usaha tanpa dukungan Yayasan lain;
b. Yayasan yang menerima penggabungan dan yang bergabung kegiatannya sejenis; atau
c. Yayasan yang menggabungkan diri tidak pernah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan Anggaran Dasarnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
(3) Usul penggabungan Yayasan dapat disampaikan oleh Pengurus kepada Pembina.
(4) Penggabungan Yayasan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan rapat
Pembina yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota
Pembina dan disetujui paling sedikit oleh 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota
Pembina yang hadir.
Pasal 58
(1) Pengurus dari masing-masing Yayasan yang akan menggabungkan diri dan yang
akan menerima penggabungan menyusun usul rencana penggabungan.
(2) Usul rencana penggabungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan
dalam rancangan akta penggabungan oleh Pengurus dari Yayasan yang akan
menggabungkan diri dan yang akan menerima penggabungan.
Pasal 59
Pengurus Yayasan hasil penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dalam surat
kabar harian berbahasa Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
penggabungan selesai dilakukan.
Pasal 60
(1) Rancangan akta penggabungan Yayasan dan akta perubahan Anggaran Dasar
Yayasan yang menerima penggabungan wajib disampaikan kepada Menteri untuk
memperoleh persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu paling
lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(3) Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada
pemohon secara tertulis disertai alasannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
Pasal 61
Ketentuan mengenai tata cara penggabungan Yayasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB X
PEMBUBARAN

Pasal 62
Yayasan bubar karena :
a. jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;
b. tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak
tercapai;
c. putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan :
1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2) tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3) harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah
pernyataan pailit dicabut.
Pasal 63
(1) Dalam hal Yayasan bubar karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
huruf a dan huruf b, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan
Yayasan.
(2) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, Pengurus bertindak selaku likuidator.
(3) Dalam hal Yayasan bubar, Yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali
untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.
(4) Dalam hal Yayasan sedang dalam proses likuidasi, untuk semua surat keluar,
dicantumkan frasa "dalam likuidasi" di belakang nama Yayasan.
Pasal 64
(1) Dalam hal Yayasan bubar karena putusan Pengadilan, maka Pengadilan juga
menunjuk likuidator.
(2) Dalam hal pembubaran Yayasan karena pailit, berlaku peraturan perundangundangan
di bidang Kepailitan.
(3) Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, pemberhentian sementara,
pemberhentian, wewenang, kewajiban, tugas dan tanggung jawab, serta pengawasan
terhadap Pengurus, berlaku juga bagi likuidator.
Pasal 65
Likuidator atau kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan Yayasan yang
bubar atau dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penunjukan wajib
mengumumkan pembubaran Yayasan dan proses likuidasinya dalam surat kabar harian
berbahasa Indonesia.
Pasal 66
Likuidator atau kurator dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal proses likuidasi berakhir, wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian
berbahasa Indonesia.
Pasal 67
(1) Likuidator atau kurator dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal proses likuidasi berakhir wajib melaporkan pembubaran Yayasan kepada
Pembina.
(2) Dalam hal laporan mengenai pembubaran Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan pengumuman hasil likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 tidak
dilakukan, bubarnya Yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
Pasal 68
(1) Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai
maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar.
(2) Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai
maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa kekayaan
tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan
maksud dan tujuan Yayasan tersebut.

BAB XI
YAYASAN ASING

Pasal 69
(1) Yayasan asing yang tidak berbadan hukum Indonesia dapat melakukan kegiatannya
di wilayah Negara Republik Indonesia, jika kegiatan Yayasan tersebut tidak merugikan
masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 70
(1) Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang,
atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 71
(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah :
a. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia; atau
b. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi
terkait;
tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima)
tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini Yayasan tersebut wajib menyesuaikan
Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.
(2) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menteri
paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
(3) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan
Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 72
(1) Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar
negeri, dan/atau sumbangan masyarakat yang diperolehnya sebagai akibat berlakunya
suatu peraturan perundang-undangan wajib mengumumkan ikhtisar laporan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) yang mencakup kekayaannya selama
10 (sepuluh) tahun sebelum Undang-undang ini diundangkan.
(2) Pengumuman ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
menghapus hak dari pihak yang berwajib untuk melakukan pemeriksaan, penyidikan dan
penuntutan apabila ada dugaan terjadi pelanggaran hukum.
Pasal 73
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.




MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2001
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.




MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 112
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands


Referensi

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&id=263&task=detail&catid=1&Itemid=42&tahun=2001




Penjabaran UU NO.8/1999 Perlindungan Konsumen Beserta Contoh Kasusnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
  1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
  3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
  4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
  5. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
  7. bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat:
Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
  2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
  3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
  4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.
  5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
  6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
  7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
  8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
  9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
  10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
  11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
  12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
  13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan:
  1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
  3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
  4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
  1. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
  1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah:
  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
  5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERDUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
  1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
    1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
    3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
    4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
    5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
    6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
    7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
    8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
    9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
    10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
  3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
  4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
  1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
    1. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
    2. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
    3. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
    4. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
    5. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
    6. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
    7. barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
    8. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
    9. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
    10. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
    11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
  2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
  3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
  1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
  2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
  3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
  4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
  5. bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
  1. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
  2. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
  3. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
  4. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
  5. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
  6. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
  1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
  2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
  1. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
  2. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
  3. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
  4. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
  1. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
  2. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
  1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
    1. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
    2. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
    3. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
    4. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
    5. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
    6. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
  2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
  1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
    1. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
    2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
    3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
    4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
    5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
    6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
    7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
    8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
  2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
  3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
  4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
  1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
  2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
  1. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
    1. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
    2. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
  2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
  1. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
  2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
    1. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
    2. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
  1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk diedarkan;
  2. cacat barang timbul pada kemudian hari;
  3. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
  4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
  5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
  1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
  2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
  3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
  4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk:
    1. terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
    2. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
    3. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
  1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
  2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat l dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
  3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
  4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan rnenteri teknis.
  6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34
  1. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
    1. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
    2. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
    3. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
    4. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
    5. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
    6. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
    7. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
  1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
  2. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
  3. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
  4. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
  1. pemerintah;
  2. pelaku usaha;
  3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
  4. akademisi; dan
  5. tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
  3. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
  4. sakit secara terus menerus;
  5. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
  6. diberhentikan.
Pasal 39
  1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat.
  2. Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
  3. Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
  1. Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan lbu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
  2. Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PFRLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
  1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
  2. Lernbaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
  3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
    1. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
    2. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
    3. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
    4. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
    5. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
MENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
  1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
  2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
  3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
  4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.
Pasal 46
  1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
    1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
    2. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
    3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
    4. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
  2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
  1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
  2. Untuk, dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
    1. warga negara Republik Indonesia;
    2. berbadan sehat;
    3. berkelakuan baik;
    4. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
    5. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
    6. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
  3. Anggota sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
  4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
  5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
  1. ketua merangkap anggota;
  2. wakil ketua merangkap anggota;
  3. anggota.
Pasal 51
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
  2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
  3. Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
  1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
  2. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
  3. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  4. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
  5. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  6. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
  7. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  8. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
  9. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  10. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
  11. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
  12. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  13. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
  1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
  2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
  3. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
  4. Ketentuan teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
  1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
  2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
  3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
  4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
  1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
  2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
  1. Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
  2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    6. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
  3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
  2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
  1. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
  6. pencabutan izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang ini berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AKBAR TANDJUNG
 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42

CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN BIDANG PANGAN :
Contoh kasus pelanggaran UU Perlindungan konsumen di bidang pangan. Kasus di bidang pangan ini adalah kasus yang paling mengkhawatirkan masyarakat. Kasus tersebut adalah kasus – kasus tentang masalah penyalahgunaan zat-zat berbahaya pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan untuk digunakantetapi penggunaannya oleh sang pelaku usaha dalam produk panganmelebihi batas yang telah ditentukan. Zat-zat yang berbahaya diantaranya formalin, boraks, rhodamin – B, Metanil Yellow dan lain sebagainya. Jika zat-zat ini masuk ke dalam tubuh konsumen, maka akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh dalam jangka panjang karena zat-zat tersebut telah terakumulasi dalam tubuh.
            Demi menekan ongkos pproduksi, para pelaku usaha tega mencampurkan zat-zat berbahaya ke dalam produk yang mereka jual agar produknya bisa tahan lama. Misalnya saja produsen yang menggunakan boraks atau formalin ke dalam produk makanan yang dijualnya agar produk tersebut lebih tahan lama. Kalau produk mereka tahan lama, bisa dijual lagi keesokan harinya, sehingga ongkos produksi juga bisa ditekan.
            Konsumen yang telah membayar sejumlah uang untuk mendapatkan produk yang dijual oleh pelaku usaha tersebut malah dicurangi. Konsumen tidak mendapatkan kualitas produk yang sesuai dengan yang diinginkannya. Tetapi justru membahayakan kesehatan mereka di kemudian hari. Kasus seperti ini jelas telah melanggar UU Perlindungan konsumen. Di dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 4 point ke 3 disebutkan salah satu hak konsumen yaitu “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
            Kasus tersebut jelas sudah bertentangan dengan bunyi pasal tersebut tentang hak konsumen. Hak konsumen telah diabaikan. Konsumen tidak mendapatkan informasi yang jujur dari pelaku usaha mengenai produk yang mereka jual. Para pelaku usaha seolah tidak jera dan tetap melakukan hal itu lagi. Bahkan seperti tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah untuk menghadapi para pelaku usaha yang demikian.
            Dalam kasus ini tidak hanya para pelaku usaha yang salah. Namun konsumen juga harus lebih teliti lagi dalam membeli suatu barang. Konsumen harus lebih mengamati produk yang dibelinya. Jangan sampai tertipu. Dalam membeli suatu barang, konsumen juga harus memperhatikan tanggal kadaluarsa dari produk tersebut. Jangan sampai membeli produk yang telah kadaluarsa. Namun, sang pelaku usaha juga harus selalu mengontrol produk yang mereka jual, jangan sampai ada produk yang telah kadaluarsa tetapi masih saja dijual. Jadi, dalam hal ini dibutuhkan peran dari kedua belah pihak.
Untuk mengatasi kasus pelanggaran UU Perlindungan Konsumen dalam bidang pangan tersebut sebaiknya pemerintah sebagai badan yang melakukan pengawasan terhadap penyebaran dan pemasaran barang – barang yang telah beredar di masyarakat luas, selalu melakukan pengawasan – pengawasan terhadap para pelaku usaha maupun para distributor yang menyediakan barang.Selain itu, diperlukan juga sosialisasi kepada masyarakat secara terus-menerus. Salah satu media yang diperlukan adalah iklan layanan masyarakat yang mengajak atau mendorong konsumen untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan, artinya konsumen harus memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang dan ketentuannya.

ANALISIS KASUS :
Berdasarkan kasus dan teori diatas masih banyak pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajibannya dan masih banyak konsumen yang merasa dirugikan akibat oknum-oknum pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Jika dilihat menurut Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kasus pelaku usaha dibidang pangan tersebut menyalahi ketentuan. Berikut adalah beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dilangar oleh pelaku usaha dalam bidang pangan:

1.      Pasal 4, hak konsumen adalah :
o    Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
o    Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 11 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample. Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus. Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow).
o    Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”
o    Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya.

2.      Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
o    Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
o    Pelaku usaha bidang pangan tidak pernah memberitahu kondisi serta penjelasan komposisi makanan apa yang terkandung didalamnya. Terkadang juga pelaku usaha tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada makanan kemasan dan kaleng. 

3.      Pasal 19
o    Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
o    Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
o    Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”

Hukuman Bagi Para Oknum Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan di Indonesia
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggan terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.

Solusi yang harus dilakukan para pelaku usaha :
  1. Menjadikan etika sebagai pedoman dalam melakukan perdagangan
  2. Menaati undang-undang yang berlaku agar tidak melakukan tindakan kecurangan atas barang/jasa yang dijualnya.
  3. Berlaku adil terhadap konsumen dan melindungi konsumen karena konsumen adalah segala-galanya.
Solusi yang harus dilakukan oleh konsumen:
  1. Teliti dalam melakukan tindakan pembelian
  2. Mencaritahu informasi atas barang/jasa yang akan digunakan.
  3. Melihat terlebih dahulu tanggal kadaluarsa pada kemasan makanan,

REFERENSI